Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan, golongan masyarakat kelas menengah ke bawah mendapatkan dampak negatif terbesar dari kenaikan biaya tersebut.
"Di Indonesia, orang yang memiliki kendaraan bermotor tidak berarti tidak miskin. Kenapa? karena kendaraan itu kan dipakai untuk ngojek. Mereka ngojek sebagian besar karena susah mencari lapangan pekerjaan," kata Eko.
Eko menyayangkan keputusan RI 1, karena meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 sebagai dasar kenaikan tarif tersebut. Pasalnya, kenaikan biaya yang signifikan tersebut berlaku di saat daya beli masyarakat masih stagnan karena ekonomi tumbuh tak sesuai harapan.
"Konsekuensinya, masyarakat mengeluarkan uang lebih untuk perpanjang STNK atau menerbitkan BPKB maka pendapatannya untuk konsumsi dan lain-lain akan berkurang," ujarnya.
Eko memahami, pemerintah memiliki kepentingan mengamankan penerimaan negara. Seperti diungkapkan Direktur PNBP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Mariatul Aini, potensi tambahan penerimaannya mencapai Rp1,73 triliun tahun ini. Dengan rincian, sebesar Rp840 miliar berasal dari STNK dan Rp890 dari BPKB.
Namun Eko mengingatkan, di tahun ini masyarakat harus menanggung kenaikan tarif listrik dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menyusul tren kenaikan harga minyak mentah dunia. Tanggungan tersebut akan menguras kantong masyarakat di awal tahun ini.
"Kumulatif dari kenaikan-kenaikan harga yang diatur pemerintah ini akan membebani ekonomi," ujar Eko
Tidak ada komentar:
Posting Komentar