Pages

Selasa, 29 November 2016

Pro dan Kontra Netizen Tanggapi Revisi UU ITE



Pro dan kontra terhadap pemberlakuan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mulai berlaku hari ini (27/11) mendapat reaksi beragam dari pengguna internet.

Melalui layanan mikroblogging Twitter, sejumlah pengguna internet menyatakan sikap setuju dan ada juga yang keberatan dengan kemunculan revisi UU ITE. Hingga berita ini ditulis, UU ITE masuk dalam tiga besar topik yang dicuit oleh lebih dari 4.000 pengguna Twitter.

Salah satu keberatan netizen mengenai revisi UU ITE terdapat dalam Pasal "karet" 27 ayat 3 mengenai pengurangan hukuman pidana untuk kasus pencemaran nama baik yang harus ditujukan kepada personal baru bisa ditindak.

Pengguna Twitter Edy A Effendi menyatakan setuju dengan adanya UU ITE. Menurutnya, kemunculan revisi UU ITE seharusnya tidak melunturkan sikap kritis masyarakat.

"Gak usah takut UU ITE. Teruslah bersikap kritis.......Dan lihat saja, siapa yang akan jadi korban UU ITE," tulisnya melalui akun @eae18.

Sama halnya dengan Edy, musisi Addie MS juga menunjukkan sikap positif dan berharap netizen lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi.

"Hari ini diberlakukan revisi UU ITE. Dilarang mmbuat & mnyebar info brsifat tuduhan/fitnah/SARA yg undang kebencian," ungkapnya melalui akun @addiems.

Sementara itu, pengguna lain dengan nama Busta-Min B justru menganggap adanya revisi UU ITE berpotensi menjadikan masyarakat menjadi tersangka dalam berbagai hal yang disampaikan melalui sosial media.

"Semuanya berpotensi besar mendapat predikat tersangka dgn UU ITE. Tunggu saja tgl mainnya.," cuit @BustaTaTo.

Sama halnya dengan @BustaTato, pemilik akun @ameoktavia juga mengkritisi sikap pemerintah yang harusnya lebih aktif memberikan edukasi penggunaan media sosial.

"Bukannya ngasih edukasi penggunaan media & medsos yang serius, malah makin banyak yang gunain UU ITE. Dasar negara gaptek (gagap teknologi). Zzz...," ungkap pemilik akun Amelya Oktavia.

Sementara itu, pengamat internet sekaligus Direktur Eksekutif ICT Watch, Donny B.U mengatakan hasil revisi UU ITE seyogiayanya tidak sama dengan upaya pemerintah melakukan pembatasan kebebasan berpendapat secara sewenang-wenang.

"Kebebasan berpendapat itu memang tidak ada yang mutlak, artinya memang perlu pembatasan-pembatasan," ungkapnya.

Revisi Pasal 27 yang bersifat antar individu, menurutnya konteks tersebut diberlakukan jika konten yang dibagikan memiliki unsur kebohongan, SARA, dan hate speech.

Lebih lanjut ia mengatakan, adanya revisi UU ITE merupakan buah kesepakatan sejumlah elemen dan organisasi masyarakat dalam menanggapi informasi yang beredar dan mengandung unsur kebencian terhadap satu kalangan.

"Yang saya pahami, revisi itu awalnya bentuk desakan dari sejumlah elemen masyarakat, khususnya dari organisasi masyarkat sipil. Mengeai apapun bentuknya, tentu sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah dengan Komisi I DPR yang dalam hal ini berperan sebagai wakil rakyat," pungkasnya.

Berikut poin-poin tersebut:

Poin pertama, untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan tiga perubahan sebagai berikut:

a. Menambahkan penjelasan terkait istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau memungkinkan informasi elektronik dapat diakses".
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan, bukan delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Kedua, menurunkan ancaman pidana dengan dua ketentuan, yakni:
a. Pengurangan ancaman pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dari pidana penjara paling lama enam tahun menjadi empat tahun. Sementara penurunan denda dari paling banyak Rp1 miliar menjadi Rp750 juta.
b. Pengurangan ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi empat tahun. Pun begitu dengan denda yang dibayarkan, dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

Ketiga, pelaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

Keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:

a. Penggeledahan atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang dulunya harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1x24 jam, kini disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Kelima, memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi.
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

Keenam, menambahkan ketentuan mengenai "right to be forgotten" alias hak untuk dilupakan pada ketentuan Pasal 26 yang terbagi atas dua hal, yakni:
a. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus konten informasi elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
b. Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik yang sudah tidak relevan.

Ketujuh, memperkuat peran pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar