Rencana Pelajaran Sejarah Dengan Muatan Pelangaran HAM Masa Lalu
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid berencana memasukkan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia masa lalu seperti Tragedi 1965 dan sejumlah kejadian jelang reformasi 1998 ke dalam kurikulum sejarah.
Farid menyatakan, generasi muda harus mengetahui pengalaman Indonesia dalam bernegara dan berbangsa. Sejarah, menurutnya, merupakan modal untuk menghadapi tantangan zaman.
![](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_uW4jn2kvxszzx8tY1W7uhi8WZNxQV60T-aWR2QRABKFijG3ZI4Y9jVesqE7gagHotpzcbIISbo=s0-d)
"Banyak yang abai dan tidak peduli dengan sejarah. Padahal persolan sehari-hari berkaitan dengan masa lalu," ujarnya di Jakarta, Rabu kemarin.
Farid menuturkan, setiap daerah akan memiliki muatan pendidikan sejarah pelanggaran HAM yang berbeda. Setiap peserta didik diarahkan menguasai peristiwa HAM yang terjadi di wilayahnya.
Pelajar di Jakarta, kata Farid, harus memahami kerusuhan yang terjadi di ibu kota sepanjang 1997 hingga 1998, salah satunya Peristiwa Semanggi.
Sementara itu, merujuk contoh lain, Farid menyebut pelajar di Maluku perlu mengerti Kerusuhan Ambon yang terjadi tahun 1999.
"Kuncinya adalah yang relevan dengan kehidupan masyarakat setempat," ucapnya.
Untuk merealisasikan wacana tersebut, November mendatang, Farid akan menginisiasi diskusi dengan pakar sejarah dan komunitas korban pelanggaran HAM.
"Bukan mau mengorek masa lalu kelam. Kami justru ingin membuktikan, kasus kekerasan di masa lalu berpengaruh terhadap masyarakat sekarang," kata Farid.
Lebih dari itu, Farid berkata, upaya menjadikan kasus pelanggaran HAM sebagai muatan mata pelajaran sejarah telah dimulai sejak 2005. Namun menurutnya rencana tersebut tidak diimplementasikan secara sistematis.
Terkait isi pendidikan Tragedi 1965 misalnya, terdapat tafsir yang keliru. "Yang sudah diajarkan di sekolah, bagi saya belum cukup. Ada pembodohan. Si A bilang gini, Si B bilang begitu," kata Farid.
Farid menyatakan, generasi muda harus mengetahui pengalaman Indonesia dalam bernegara dan berbangsa. Sejarah, menurutnya, merupakan modal untuk menghadapi tantangan zaman.
"Banyak yang abai dan tidak peduli dengan sejarah. Padahal persolan sehari-hari berkaitan dengan masa lalu," ujarnya di Jakarta, Rabu kemarin.
Farid menuturkan, setiap daerah akan memiliki muatan pendidikan sejarah pelanggaran HAM yang berbeda. Setiap peserta didik diarahkan menguasai peristiwa HAM yang terjadi di wilayahnya.
Pelajar di Jakarta, kata Farid, harus memahami kerusuhan yang terjadi di ibu kota sepanjang 1997 hingga 1998, salah satunya Peristiwa Semanggi.
Sementara itu, merujuk contoh lain, Farid menyebut pelajar di Maluku perlu mengerti Kerusuhan Ambon yang terjadi tahun 1999.
"Kuncinya adalah yang relevan dengan kehidupan masyarakat setempat," ucapnya.
Untuk merealisasikan wacana tersebut, November mendatang, Farid akan menginisiasi diskusi dengan pakar sejarah dan komunitas korban pelanggaran HAM.
"Bukan mau mengorek masa lalu kelam. Kami justru ingin membuktikan, kasus kekerasan di masa lalu berpengaruh terhadap masyarakat sekarang," kata Farid.
Lebih dari itu, Farid berkata, upaya menjadikan kasus pelanggaran HAM sebagai muatan mata pelajaran sejarah telah dimulai sejak 2005. Namun menurutnya rencana tersebut tidak diimplementasikan secara sistematis.
Terkait isi pendidikan Tragedi 1965 misalnya, terdapat tafsir yang keliru. "Yang sudah diajarkan di sekolah, bagi saya belum cukup. Ada pembodohan. Si A bilang gini, Si B bilang begitu," kata Farid.
0 komentar: