Pertamina Rugi, Pemerintah Diminta Naikan Harga BBM Non Subsidi
PT Pertamina (Persero) berharap pemerintah melakukan evaluasi ulang atas harga Bahan Bakar Minyak (BBM) penugasan untuk jenis premium dan solar pada bulan Juli mendatang seiring kenaikan harga minyak dunia. Saat ini, Pertamina mengaku sudah mengalami kerugian yang cukup besar atas penjualan dua produk BBM tersebut.
Kerugian penjualan pada produk premium disebut sudah dialami perseroan sejak akhir tahun lalu, sedangkan kerugian penjualan soal sudah dimulai sejak Juli 2016 lalu. Adapun saat ini, Pertamina harus menombok Rp450 per liter pada penjualan premium dan Rp1.150 per liter pada solar.
Direktur Pemasaran Pertamina Mochamad Iskandar beralasan, harga premium dan solar yang saat ini masing-masing berada di angka Rp6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter masih akan efisien jika harga minyak dikisaran US$40 per barel. Namun, sejak kuartal I 2017, harga minyak tak menunjukkan tanda-tanda akan turun.
Menurun catatan perusahaan, rata-rata harga minyak di kuartal I tahun ini tercatat US$51,03 per barel atau meningkat 68,97 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya US$30,2 per barel. Bahkan, harga brent per Selasa kemarin tercatat US$54,15 per barel dan harga West Texas Intermediate (WTI) menyentuh level US$51,47 per barel.
"Tentu saja jika harga minyak menunjukkan tren kenaikan, kami minta pemerintah menyesuaikan harga BBM penugasan. Penyesuaian itu harus sesuai dengan harga keekonomian," papar Iskandar, Rabu (24/5).
Meskipun demikian, permintaan ini baru akan dilakukan jika memang tren harga minyak terus meningkat hingga akhir Juni mendatang. Namun, perusahaan juga wanti-wanti atas pertemuan organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) esok hari yang menentukan perpanjangan kebijakan pemangkasan produksi. Adapun, kebijakan pembatasan produksi OPEC tahap pertama akan berakhir 30 Juni mendatang.
Jika OPEC jadi memperpanjang pembatasan produksi, maka harga minyak diprediksi meningat lagi. Namun, jika OPEC mengurungkan niatnya, maka harga minyak diprediksi tak akan melonjak.
"Ya kalau harga minyak meningkat terus kami minta penyesuaian BBM. Tapi kalau harga minyak tidak jadi turun ya tidak usah ada penyesuaian, harga minyak ini kan memang tidak bisa diprediksi," jelas Iskandar.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman melanjutkan, meningkatnya harga minyak mentah diiringi tetapnya harga BBM menekan laba sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perseroan sepanjang kuartal I lalu. Tercatat, EBITDA Pertamina melorot 13,3 persen dari US$2,18 miliar di kuartal I tahun lalu menjadi US$1,89 miliar.
Menurut Arief, perusahaan mulai mengalami kerugian penjualan premium sejak Desember akhir tahun lalu. Sementara itu, kerugian berjualan solar sudah terjadi sejak Juli 2016 silam.
"Untuk sementara, selisih harga ini masih bisa dikendalikan dengan cara cross subsidi antar produk. Tapi, memang implikasinya di hilir tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya," jelasnya.
Menurut Peraturan Menteri ESDM no. 39 tahun 2015, penyesuaian harga BBM penugasan dilakukan setiap tiga bulan sekali dengan mempertimbangkan rata-rata harga mean of plats Singapore (MOPS), harga minyak dunia, dan nilai tukar Dolar AS dengan kurs beli Bank Indonesia (BI).
Evaluasi terakhir dilakukan pada 1 April 2017, sehingga peninjauan penyesuaian harga BBM seharusnya akan dilakukan pada 1 Juli 2017 mendatang. Pada penyesuaian lalu, harga premium tetap dipatok Rp6.450 per liter dan harga solar sebesar Rp5.150 per liter, di mana harga sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Kerugian penjualan pada produk premium disebut sudah dialami perseroan sejak akhir tahun lalu, sedangkan kerugian penjualan soal sudah dimulai sejak Juli 2016 lalu. Adapun saat ini, Pertamina harus menombok Rp450 per liter pada penjualan premium dan Rp1.150 per liter pada solar.
Direktur Pemasaran Pertamina Mochamad Iskandar beralasan, harga premium dan solar yang saat ini masing-masing berada di angka Rp6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter masih akan efisien jika harga minyak dikisaran US$40 per barel. Namun, sejak kuartal I 2017, harga minyak tak menunjukkan tanda-tanda akan turun.
Menurun catatan perusahaan, rata-rata harga minyak di kuartal I tahun ini tercatat US$51,03 per barel atau meningkat 68,97 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya US$30,2 per barel. Bahkan, harga brent per Selasa kemarin tercatat US$54,15 per barel dan harga West Texas Intermediate (WTI) menyentuh level US$51,47 per barel.
"Tentu saja jika harga minyak menunjukkan tren kenaikan, kami minta pemerintah menyesuaikan harga BBM penugasan. Penyesuaian itu harus sesuai dengan harga keekonomian," papar Iskandar, Rabu (24/5).
Meskipun demikian, permintaan ini baru akan dilakukan jika memang tren harga minyak terus meningkat hingga akhir Juni mendatang. Namun, perusahaan juga wanti-wanti atas pertemuan organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) esok hari yang menentukan perpanjangan kebijakan pemangkasan produksi. Adapun, kebijakan pembatasan produksi OPEC tahap pertama akan berakhir 30 Juni mendatang.
Jika OPEC jadi memperpanjang pembatasan produksi, maka harga minyak diprediksi meningat lagi. Namun, jika OPEC mengurungkan niatnya, maka harga minyak diprediksi tak akan melonjak.
"Ya kalau harga minyak meningkat terus kami minta penyesuaian BBM. Tapi kalau harga minyak tidak jadi turun ya tidak usah ada penyesuaian, harga minyak ini kan memang tidak bisa diprediksi," jelas Iskandar.
Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman melanjutkan, meningkatnya harga minyak mentah diiringi tetapnya harga BBM menekan laba sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perseroan sepanjang kuartal I lalu. Tercatat, EBITDA Pertamina melorot 13,3 persen dari US$2,18 miliar di kuartal I tahun lalu menjadi US$1,89 miliar.
Menurut Arief, perusahaan mulai mengalami kerugian penjualan premium sejak Desember akhir tahun lalu. Sementara itu, kerugian berjualan solar sudah terjadi sejak Juli 2016 silam.
"Untuk sementara, selisih harga ini masih bisa dikendalikan dengan cara cross subsidi antar produk. Tapi, memang implikasinya di hilir tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya," jelasnya.
Menurut Peraturan Menteri ESDM no. 39 tahun 2015, penyesuaian harga BBM penugasan dilakukan setiap tiga bulan sekali dengan mempertimbangkan rata-rata harga mean of plats Singapore (MOPS), harga minyak dunia, dan nilai tukar Dolar AS dengan kurs beli Bank Indonesia (BI).
Evaluasi terakhir dilakukan pada 1 April 2017, sehingga peninjauan penyesuaian harga BBM seharusnya akan dilakukan pada 1 Juli 2017 mendatang. Pada penyesuaian lalu, harga premium tetap dipatok Rp6.450 per liter dan harga solar sebesar Rp5.150 per liter, di mana harga sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
0 komentar: